SinarPost.com, Jakarta – Bakal calon dari 31 daerah berpotensi melawan kotak kosong pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020 mendatang. Hal ini lantaran 31 daerah dari total 270 daerah yang akan menggelar Pilkada Serentak itu, sejauh ini baru ada satu pasangan calon. Kondisi ini mengundang keprihatinan dari Lembaga Legislatif DPR RI.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam Pilkada. Arif mengatakan, masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh di kontestasi Pilkada tersebut.
“Meningkatnya calon tunggal dalam Pilkada juga akibat proses politik yang tidak cukup dan hal itu yang tidak terbangun di banyak daerah,” tutur Arief kepada awak media baru-baru ini.
Ia menambahkan, tidak adanya calon dengan reputasi pribadi dan politik yang dikenal oleh masyarakat di suatu daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah. “Karena modal banyak uang saja tidak cukup untuk bertarung di pilkada,” tukas politisi Fraksi PDI Perjuangan itu.
Seperti dikabarkan, calon tunggal pada Pilkada 2020 yang akan dihelat di 270 daerah diprediksi mengalami peningkatan menjadi 31 daerah atau hampir 2 kali lipat dari Pilkada 2018 yang berjumlah 16.
Sebelumnya Perludem memperkirakan, calon tunggal melawan kotak kosong akan terjadi di 31 daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Daerah potensial itu terdiri dari 26 kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak tahun ini. Meski demikian, Perludem menilai hal ini masih bisa berubah karena masih sangat dinamis. Proses pencalonan dalam Pilkada sendiri terkadang cenderunginjury time.
Dalam kesempatan terpisah, Anggota DPR RI dari Komisi II lainnya, Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. “Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka pendidikan politik dan pendidikan demokrasi,” kata Guspardi dalam keterangan persnya, Senin (10/8/2020).
Guspardi mengatakan, Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antar kepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya substansi Pilkada. “Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal kita punya penduduk terbesar, empat terbesar dunia,” ungkapnya
Menurutnya, adanya kemungkinan calon tunggal di 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokrasi telah mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan. Dan hal ini juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat.
Ia menyatakan, perlu ada terobosan yang dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan Pilkada atau Pemilu. Fenomena calon tunggal yang melaju sendiri alias menghadapi kotak kosong di Pilkada menambah daftar metode ‘culas’ yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Guspardi mendesak agar cara seperti itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.