SinarPost.com, Banda Aceh – Dunia Barat, termasuk kaum intelektualnya sangat faham bahwa eksistensi agama mereka tergugat dengan adanya Islam. Oleh sebab itu, para intelektual Barat yang mengkaji teologi dan filsafat Islam, sejak D.B. MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery Watt sampai Harry Wolfson, Shlomo Pines, dan lainnya, memiliki framework yang sama. Dan jelas para intelektual Barat (orientalis) tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam dan budayanya.
Demi membela Islam dan kepedulian yang tinggi terhadap kondisi umat Islam yang saat ini menghadapi berbagai makar dari Barat lewat sejumlah program yang mengarah pada ghazwul fikri dan ghazwuts-tsaqafi, Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) mengkaji lebih dalam berbagai hal terkait dengan perkembangan umat, termasuk rancangan moderasi ajaran Islam yang digagas oleh Kementerian Agama RI, dalam diskusi online via Zoom Meeting yang bertajuk “Quo Vadis Moderasi Ajaran Islam, Agenda Siapa?” yang berlangsung pada Minggu (26/7/2020).
Didaulat sebagai _keynote speaker_, Dr. Fahmy Lukman, M.Hum selaku Direktur Institute of Islamic Analysis & Development (INQIYAD) sekaligus staf pengajar di Universitas Padjajaran, mengetengahkan pandangan yang menggelitik dan menggugah kesadaran berfikir intelektual.
“Terus terang persiapan untuk melakukan diskusi ini telah menguras seluruh energi pemikiran saya, terutama untuk memahami persoalan ini, bukan dari permukaan _(surface structure)_, melainkan menelisik ke dalam _(deep structure)_ terhadap sebuah gagasan, melihat pada akar persoalan secara paradigmatis dan mendasar,” ujar Dr. Fahmy.
Hal yang menggelitik pemikiran Dr. Fahmy adalah fenomena banyaknya sarjana muslim yang belajar tentang Islam kepada sarjana Yahudi dan Kristen. Namun di saat yang sama, tidak banyak dan bahkan mungkin tidak ada sarjana Yahudi-Kristen yang belajar tentang agama mereka (Yahudi dan Nasrani) kepada sarjana Muslim?
Hal penting lain yang disampaikan oleh doktor yang telah melanglang buana ke lebih dari 20 negara ialah bahwa dialog antar intelektual Muslim sangatlah diperlukan sebagai upaya untuk mensinergikan seluruh potensi bangsa yang kita cintai ini.
“Kita cinta Indonesia, kita sayang Indonesia, kita jaga Indonesia dengan seluruh kemampuan kita agar Indonesia menjadi negeri yang baldataun thayyibatun ghafur,” tutupnya.
Sementara intelektual Muslim dari Tanah Rencong, Dr. M. Yusran Hadi, Lc., MA selaku Ketua MIUMI Aceh menyatakan, sepakat bahwa Umat Islam ini adalah umat yang wasathiyah, karena konsep wasathiyah memang ada di dalam Al Qur’an. Namun berkenaan dengan wacana moderasi agama, saya mempertanyakan mengapa perlu ada moderasi beragama? Apakah selama ini agama Islam ini tidak moderat?”.
Intelektual dan anggota Ikatan Da’i dan Ulama Asia Tenggara ini lebih lanjut menyampaikan, “kalau dilihat dari konsep yang disampaikan oleh Tim Kemenag RI, sebetulnya sudah bagus. Namun dalam praktiknya tidaklah demikian. Saya khawatir justru ada pemikiran dari Barat yang menyusup dibalik ide moderasi agama ini. Kalau tidak, kenapa perlu ada penghapusan atau moderasi beberapa konsep ajaran Islam, seperti jihad dan khilafah? Padahal jihad dan khilafah jelas adalah ajaran Islam yang tidak bisa dinafikan oleh siapapun yang mengaku sebagai umat Islam. Dan dalilnya juga jelas dalam Al Qur’an maupun hadist serta ijma’ sahabat,” ujarnya.
Sedangkan pengajar filsafat dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Dr. Ahmad Sastra menyorot pada aspek manfaat apa yang akan diperoleh dari rancangan moderasi beragama ini. “Apakah melalui moderasi agama, akan menjadikan umat Islam makin yakin dengan Islam? Apakah akan membuat Islam semakin jelas atau semakin kabur? Apakah dengan moderasi beragama ini akan menambah kuat dakwah amar ma’ruf nahi munkar atau malah kita kalah dengan kemungkaran? Apakah akan membangkitkan ghirah beragama atau sebaliknya? Nah, saya kira ini yang penting untuk kita pertanyakan terkait dengan ide moderasi beragama. Jangan sampai ide tersebut menjadi kontraproduktif dengan tujuan kita beragama,” ungkapnya.
Lebih lanjut beliau juga mempertanyakan, “kenapa yang perlu karakter moderat ini hanya umat Islam? Apakah umat yang lain di luar Islam itu sudah pasti moderat selama ini?. Saya tidak ingin umat Islam selalu diposisikan dalam posisi sebagai obyek.”
Diskusi online ini dihadiri hampir 200 orang profesor dan doktor di Zoom Meeting. Sementara di Live streaming ditonton lebih dari 2.500 orang.
[Rel]