SinarPost.com, Brussel – Diplomat top Uni Eropa (UE) mengatakan sejak Amerika Serikat (AS) telah menarik diri dari perjanjian internasional yang mengekang ambisi nuklir Irsn, negara itu tidak dapat menggunakan keanggotaan sebelumnya dari pakta itu untuk mencoba memberlakukan embargo senjata permanen pada Republik Islam.
Kesepakatan, yang ditandatangani Iran dengan AS, Inggris, Jerman, Prancis, China, dan Rusia pada 2015, telah tercerai berai sejak Presiden Donald Trump menarik Washington pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi yang dirancang untuk melumpuhkan Teheran di bawah apa yang disebut sebagai kampanye “tekanan maksimum.”
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft mengatakan bahwa memperpanjang embargo senjata permanen yang didukung AS terhadap Iran sekarang menjadi prioritas utama bagi Washington.
Namun berbicara kepada wartawan setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell menegaskan bahwa sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), negara itu tidak dapat lagi mengklaim memiliki peran di dalamnya.
“Amerika Serikat telah menarik diri dari JCPOA, dan sekarang mereka tidak dapat mengklaim bahwa mereka masih menjadi bagian dari JCPOA untuk menangani masalah ini dari perjanjian JCPOA. Mereka mundur. Itu sudah jelas. Mereka menarik diri,” kata Borrell seperti dikutip dariAP, Rabu (10/6/2020).
Pada hari Senin, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuduh pemerintah Trump melepaskan kampanye bermotivasi politik terhadap Iran dan dia menyerukan “kecaman universal” atas upaya AS untuk meminta Dewan Keamanan AS mengenakan embargo senjata permanen.
UE melihat kesepakatan nuklir sebagai pilar utama keamanan regional dan dunia dan telah berjuang untuk menjaga pakta itu tetap hidup meskipun ada tekanan AS. Borrell bertugas mengawasi cara pakta diterapkan dan untuk membantu menyelesaikan perselisihan di antara para pihak.
Rusia-China Pasang Badan
Rusia dan China telah mulai mengajukan kasus di PBB terhadap klaim Amerika Serikat (AS) bisa mengaktifkan kembali semua sanksi terhadap Iran di Dewan Keamanan. Rusia bahkan menyitat pendapat hukum internasional berusia 50 tahun untuk membantah tindakan tersebut.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan diplomat China Wang Yi menulis surat kepada dewan beranggotakan 15 orang dan Ketua PBB Antonio Guterres ketika AS mengancam akan mengaktifkan kembali sanksi Iran berdasarkan perjanjian 2015, meskipun Washington keluar dari perjanjian itu pada 2018.
Lavrov menulis dalam surat tertanggal 27 Mei, yang dipublikasikan minggu ini, bahwa AS bersikap konyol dan tidak bertanggung jawab.
“Ini benar-benar tidak dapat diterima dan hanya berfungsi untuk mengingat pepatah Inggris yang terkenal tentang memiliki kue satu dan memakannya,” tulis Lavrov seperti dikutip dariReuters, Rabu (10/6/2020).
Rusia dan China telah mengisyaratkan mereka menentang penerapan kembali embargo senjata terhadap Iran dengan kekuatan veto mereka di Dewan Keamanan PBB. Jika mereka memblokir resolusi yang dirancang AS, maka Washington harus menindaklanjuti ancaman memberlakukan kembali sanksi.
“Amerika Serikat, yang tidak lagi menjadi peserta JCPOA (kesepakatan nuklir) setelah berjalan menjauh darinya, tidak memiliki hak untuk meminta Dewan Keamanan memintasnapback(mengatifkan kembali sanksi),” tulis Wang dalam suratnya tertanggal 7 Juni.
Kesepakatan nuklir Iran 2015, diabadikan dalam resolusi PBB, memungkinkan untuk pengembalian sanksi terhadap Iran, termasuk embargo senjata, jika Iran melanggar kesepakatan. Presiden AS Donald Trump keluar dari kesepakatan pada tahun 2018, menyebut perjanjian dari kepresidenan Barack Obama sebagai “kesepakatan terburuk yang pernah ada.”
Sumber : Sindonews.com