Oleh : Muhammad Salda, S.Sy., M.H*
Berbicara mengenai Adat Istiadat, Aceh adalah salah satu Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke dua menyatakan bahawa “Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, kemudian pada alinea ke tiga menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Dapat dipahami bersama, bahwa pembukaan dari pada UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan, sebagaimana yang tertuang dalam alinea ke empat menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Selanjutnya, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan”. Kemudian pada ayat (5) menyebutkan “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat”. Selanjutnya dalam ayat (6) menyebutkan “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Kemudian, pada Pasal 18B ayat (1) dan (2) menyampaikan bawah “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”, dan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa wujud pertama kali daripada pemberlakuan hukum adat adalah sebagaimana yang tertuang dalam nilai-nilai kemerdekaan Indonesia yang tertulis di dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi tombak awal, dan kemudian diperkuat dengan isi yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi Indonesia, dan cukup jelas disebutkan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Maka inilah yang menjadi landasan awal terkait pelaksanaan Peradilan Adat di Indonesia, khususnya di Aceh.
Untuk mengimplementasikan berbagai kewenangan tersebut dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi Aceh bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menetapkan kebijakan daerah yang berupa Qanun (Peraturan Daerah). Qanun tersebut, memiliki kekuatan hukum yang kuat karena menganut azas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Qanun yang telah ditetapkan sebagai implementasi peranan adat dalam Otonomi Khusus yaitu sebagai berikut:
- Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Syariat Islam.
- Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nornor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Pemusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi lainnya.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004 tantang Pengelolaan Zakat.
- Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2004 tantang Kebudayaan Aceh.
- Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat.
- Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Selain itu, yang menjadi landasan yuridis secara khusus tentang pelaksanaan Peradilan Adat di Aceh dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bawah “Wali Nanggroe dan Tuha Nanggreo adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Hal tersebut juga diatur dalam Bab VIII mengenai Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe Sebagai Penyelenggara Adat, Budaya dan Pemersatu Masyarakat pada Pasal 10 ayat (1) yaitu “Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagai pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Pengaturan mengenai menjunjung tinggai nilai-nilai pelaksaan peradilan adat juga termaktub di dalam Bab X mengenai Kepolisian Daerah Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada Pasal 22 ayat (1) dan (4) menyebutkan bahwa “Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Kepolisiaan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan memperhatikan sistem hukum, budaya adat istiadat dan kebijakan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” dan “Penetapan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan atas keputusan Kepolisiaan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan memperhatikan sistem hukum, budaya adat istiadat dan kebijakan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Disini kita bisa melihat dukungan untuk pelaksanaan Peradailan Adat di Aceh secara baik dan optimal.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, pada Pasal 7 disampaikan bahwa “Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukimandan Kelurahan/ Desa atau Gampong”.
Penjelasan di atas juga berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Bab XII dan XIII diatur tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Pada Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 menyebutkan bahwa, lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Pada ayat berikutnya dalam pasal ini, menyebutkan tentang penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat, ditempuh melalui lembaga adat.
Lembaga Adat seperti yang disebutkan di atas, meliputi : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Keuchik atau nama lain, Tuha Peut atau nama lain, Tuha Lapan atau nama lain, Imeum Meunasah atau nama lain, Keujruen Blang atau nama lain, Panglima Laot atau nama lain, Pawang Glee atau nama lain, Peutua Seuneubok atau nama lain, Haria Peukan atau nama lain dan Syahbanda atau nama lain.
Ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat dan adat istiadat seperti terurai di atas, diatur dengan Qanun tersendiri. Dalam Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai Syariat Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Selanjutnya disebutkan, bahwa penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
Dengan dasar-dasar yang demikian maka Peradilan Adat tumbuh di Aceh sebagai wujud dari masyarakat majemuk. Selain itu Pengadilan Adat ini menjadi dua bahagian pertama yaitu Peradilan Adat Gampong yang di duduki oleh Perangkat Adat, dan kedua yaitu Peradilan Adat Laot (Laut) yang diduduki oleh Panglima Laot sebagai jalan aternatif penyelesaian sengekta secara damai. Sebagaimana yang telah tertuang di dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Adat dan Adat Istiadat.
Sehingga Adat dan Adat Istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan dengan Syariat Islam dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan dilestarikan melalalui kekhususan yang telah ada.
Walau pada kenyataanya terdapat kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk mengopitimalisasikan perjalanan dari kedua Pengadilan Adat ini, dimana keduanya memiliki sama kewenangan yakni menyelesaikan perkara adat secara damai baik itu dalam pemberian sanksi moral atau nilai/denda maupun tidak.
Oleh karenanya, pada pelaksanaan Peradilan Adat terdapat kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, yaitu sebagai berikut.
a. Kelemahannya adalah :
- Kurangnya Kemampuan atau ilmu pengetahuan oleh aparatur penegakan hukum yang terlibat dalam Peradilan Adat.
- Minimnya pelatihan untuk penerapan Peradilan Adat sehingga Efektif dalm pelaksanaannya, baik itu mediasi, hukum beracara dan lain sebagainya.
- Tidak ada aturan khusus terkait denda maksimal dan minimal sehingga setiap putusan yang di berikan akan terus menjadi tolak ukur selanjutnya.
- Kuranya sarana dan parasaran terhadap pelaksanaan lembaga Peradilan Adat.
- Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak cukup memadai.
b. Kelebihannya adalah :
- Tidak di persulit dengan tahapan-tahapan adminstrasi.
- Tidak ada biaya untuk dapat menyelesaikan perkara di Peradilan Adat.
- Penyelesaian perkara secara cepat, efektif dan adil.
- Memberikan kepuasan dalam menyelesaikan perkara.
- Dapat selesai dengan cepat dan sederhana, cukup di catat dengan berita acara kesepakatan yang bersifat damai dan mengikat (Pasal 18 ayat (1) Pergub Aceh 60/2013).
Penulis berharap, dengan adanya landasan hukum yang kuat untuk mengoptimalkan kedudukan peradilan adat khususnya di Aceh, harus didukung secara baik, agar sekiranya menjadi wadah baru dalam menyelesaikan persengketaan yang lahir dan berkembang di dalam masyarkat itu sendiri. Selain menghidupkan nilai-nilai budaya yang sudah ada, juga mempersempit ruang ketidakserasian saat menyelesaikan perkara.
Hal ini harus menjadi sorotan pemerintah untuk mendukung penuh perjalanan peradilan adat di Aceh sebagai fasilitator, untuk mewujudkan values yang terus berkembang dewasa ini. Dengan adanya peradilan adat ini dapat mempersempit gesekan-gesakan yang muncul dalam masyarakat yang dapat diselesaikan secara tepat dan sederhana dengan kesepakatan yang lahir dalam sebuah wadah kekeluargaan sebagaimana yang biasa disebut dengan musyawarah mufakat.
Penulis juga berharap dari legalitas putusannya, agar putusan dari penyelesaian perkara melalui peradilan adat gampong maupun peradilan adat laot di Aceh juga mempunyai kekukuatan hukum tetap yang diakui oleh Negara dan Kepemerintahannya sebagaimana yang diamanahkan di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu “yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” (Pembukaan UUD 1945), dan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945).
* Penulis merupakan Staff Pengajar di Universitas Abulyatama. Email: muhammadsalda18@gmail.com.