SinarPost.com, Banda Aceh – Satuan Tugas Pengawasan Penanganan Covid-19 DPR Aceh melaksanakan rapat koordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 Pemerintah Aceh di ruang serba guna DPRA, Selasa (14/4/2020) kemarin. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin.
Hadir dalam rapat tersebut Sekda Aceh Taqwallah, Kepala Dinas Kesehatan dr Hanif, Kepala Pelaksanan Badan Penanggulangan Bencana Aceh Sunawardi, Asisten I Pemerintah Aceh M Jafar, Kepala Dinas Perhubungan Junaidi dan juga Karo Humas Pemerintah Aceh Muhammad Iswanto.
Beberapa poin yang dibahas dalam pertemuan itu adalah soal anggaran, perbatasan Aceh, penanganan dampak sosial ekonomi dan juga soal kesiapan tim medis.
Terkait anggaran, Pemerintah Aceh diminta untuk segera menyampaikan hasil refocusing dan realokasi anggaran penanganan Covid-19 kepada DPR Aceh. Menurut Dahlan Jamaluddin, Pemerintah Aceh harus menjelaskan dari pos mana saja yang diambil dan digunakan untuk apa dalam penanganan Covid-19.
Nantinya Pemerintah Aceh diwakili tim TAPA akan menyampaikan kepada DPRA. Menurut Wakil Ketua III DPRA, Safaruddin, hal ini sesuai dengan kesepakatan pertemuan antara pimpinan DPRA dengan Plt Gubernur Aceh beberapa waktu lalu.
Terkait soal perbatasan, Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh sudah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mempeketat perbatasan. “Ada 4 perbatasan darat yang selama ini sudah dibangun posko yaitu Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Singkil dan Subulussalam,” katanya.
Namun, anggota DPRA dari Fraksi Partai Gerindra Jauhari Amin menyatakan selama ini posko yang dibangun di perbatasan Aceh Tamiang hanya seremonial belaka. “Saya hampir tiap hari lewat perbatasan. Tidak ada pemeriksaan,” ujar Legislator asal Dapil Kota Langsa-Aceh Tamiang tersebut.
Untuk itu, Jauhari meminta Pemerintah Aceh membangun posko kesehatan dan memperketat perbatasan. Ia juga meminta agar Pemerintah Aceh mencari solusi dari banyaknya jalur tikus di sepanjang pantai timur yang menghubungkan Aceh dengan Selat Malaka.
Jalur ini, kata dia, menjadi pintu masuk ilegal warga Aceh yang pulang dari Malaysia. “Ada banyak sekali jalur tikus, mulai dari Tamiang sampai ke Aceh Utara,” sebut Jauhari Amin.
Dalam kondisi darurat saat ini, kata dia, Pemerintah Aceh harus mencari cara agar mereka yang pulang dari Malaysia minimal mau melapor ke aparat desa atau Puskesmas agar bisa diisolasi.
Dalam penanganan medis, Kepala Dinas Kesehatan Aceh menjelaskan hingga saat ini ada 86 orang yang sudah di tes swab di Aceh. Dari jumlah tersebut, 5 orang dinyatakan positif virus corona, sedangkan 81 lainnya negatif. Dari 5 yang positif tersebu, 1 orang meninggal, sedangkan 4 lainnya saat ini sudah dinyatakan sembuh.
Sedangkan ventilator di RSUDZA hanya berjumlah 4 unit. Biasanya, kata Hanif, hanya pasien dalam kondisi berat yang memerlukan ventilator. “Selama ini, dari empat ventilator yang ada baru dipakai satu untuk pasien AA yang sudah almarhum,” ujar Hanif.
Sedangkan terkait dengan laboratorium untuk tes PCR yang berada di Universitas Syiah Kuala dan di Lambaro Aceh Besar, akan segera bisa difungsikan. “Rencananya, yang di Lambaro, besok akan kita resmikan,” sebut Kadis Kesehatan Aceh itu.
Anggota DPRA dari Fraksi PKS, dr Purnama Setia Budi, meminta agar informasi tentang hasil tes tidak dikeluarkan secara sembarangan atau harus satu pintu. Dia mencontohkan, beberapa informasi hasil postof corona dari rapid tes yang selama ini beredar di masyarakat.
“Padahal itu baru rapid tes, belum tes swab. Buktinya ketika dites swab semua negatif. Hasil pemeriksaan itu harus keluar dari gugus tugas, jangan dari penjabat lain,” kata Purnama Setia Budi.