SinarPost.com, Ankara – Ketegangan di Provinsi Idlib mencapai titik didih pasca 33 tentara Turki tewas dalam serangan udara pasukan Suriah pada Kamis malam lalu. Turki berencana terlibat perang langsung dengan pasukan rezim Suriah.
Namun Turki merasa upaya ‘balas dendam’ tersebut terhambat karena pasukan Rusia membantu rezim tentara Suriah dalam perang melawan pemberontak di Provinsi Idlib. Seperti diketahui, Turki berada di pihak pemberontak dan Ankara telah lama mengirim ribuan tentaranya lengkapa senjata kelas berat ke wilayah Idlib.
Pasca serangan yang menewaskan 33 terntaranya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah meminta Rusia untuk membiarkannya melawan Pemerintah Suriah secara langsung. Erdogan meminta Putin “untuk keluar dari jalan” dan membiarkan pasukan Turki berurusan dengan Presiden Suriah Bashar Assad. Demikian dilaporkan Rusia Today, Sabtu (29/2/2020).
Erdogan sedang menjelaskan kepada anggota parlemen tentang penanganan pemerintahnya terhadap eskalasi di Provinsi Idlib, Suriah barat laut, tempat pasukan Turki dan Suriah terlibat dalam beberapa bentrokan selama beberapa pekan terakhir. Permusuhan telah menghancurkan perjanjian Turki tahun 2018 dengan Rusia tentang menghindari kekerasan di wilayah tersebut, yang menjadi benteng terakhir pasukan anti pemerintah (pemberontak).
Berbicara kepada Putin via telepon, Erdogan mengatakan bahwa pihaknya tidak keberatan jika minat Rusia di Suriah adalah untuk mempertahankan kehadiran militer di sana, namun Erdogan meminta Rusia untuk tidak campur tangan dalam peperangan di Idlib.
Moskow melakukan intervensi dalam konflik Suriah pada 2015 untuk membantu Damaskus melawan kelompok-kelompok pemberontak. Moskow mengatakan membantu Pemerintah Suriah mencegah serangan di masa depan yang diluncurkan oleh calon entitas ini terhadap negara lain, termasuk Rusia.
Erdogan mengatakan Ankara sekarang menganggap pasukan Pemerintah Suriah sebagai target yang sah untuk serangannya, mengklaim Damaskus kehilangan lebih dari 2.100 tentara di Idlib. Tidak jelas apakah klaim Turki terhadap jumlah korban hanya mewakili Pasukan Suriah yang terbunuh langsung oleh militer Turki atau termasuk yang terbunuh oleh kelompok bersenjata yang didukung Turki.
Erdogan menambahkan bahwa “tujuh gudang dengan bahan kimia” juga dihancurkan di Suriah, tetapi tidak memberikan rincian atau bukti mengenai apakah Suriah masih memiliki senjata kimia yang dimilikinya. Pemimpin Turki itu mengatakan pertempuran melawan Pemerintah Suriah diperlukan untuk mencegah bencana kemanusiaan di Idlib, yang akan menyebabkan gelombang baru pengungsi ke Turki di seberang perbatasan. Bagian dari respons Turki terhadap situasi ini adalah membuka perbatasan dengan Eropa bagi pencari suaka.
Presiden Turki tersebut juga menyindir Uni Eropa (UE) yang dinilai gagal mendukung Turki, yang telah menampung lebih dari 3,6 juta pengungsi dari Suriah dan menghadapi sebanyak 4 juta pendatang baru sekarang. Dia mengatakan dia mengharapkan komunitas internasional dan NATO khususnya untuk mendukung negaranya dalam perang melawan Pemerintah Assad.
Erdogan mengklaim serangan Turki ke Suriah dilakukan atas undangan “dari orang-orang Suriah” dan bahwa Ankara tidak tertarik pada ekspansi teritorial atau menguasai minyak Suriah. Pernyataan terakhir tampaknya seperti pukulan terselubung pada Presiden AS Donald Trump, yang mengatakan “mengamankan minyak” di Suriah timur adalah prestasi besar pasukan AS yang ditempatkan di sana.