SinarPost.com, Banda Aceh – Upaya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang berencana mengevaluasi penyelenggaraan pilkada langsung karena dinilai membutuhkan biaya politik yang besar sehingga menimbulkan banyak tindakan korupsi di kalangan kepala daerah, menuai pro kontra di tengah masyarakat Indonesia.
Polemik pilkada langsung kembali mencuat ke permukaan bermula saat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mempertanyakan relevansi pilkada langsung saat ini kala menghadiri rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (6/11/2019) lalu. Wacana pilkada langsung kembali ke DPRD ini pun ramai diperbincangkan secara terus menerus oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, sehingga pro dan kontra tidak terhindarkan.
Menyikapi hal tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menggelar Diskusi Publik dengan tema “Pilkada Langsung: Masih Relavankah?”. Diskusi yang berlangsung di kampus setempat, Selasa (10/12/2019) ini menghadirkan beberapa pembicara yakni pakar hukum yang juga akademisi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr. Mawardi Ismail SH, M. Hum, Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, Ketua KIP Kota Banda Aceh Indra Milwady, Wakil Ketua DPRK Bireuen Syauqi Futaqi S.Fil.I, dan Nur Ambia Arma S.AP, M.AP (Dosen Universitas Dharmawangsa Medan). Diskusi diikuti oleh seratusan Dosen dan mahasiswa di lingkup Fakultas FISIP.
Dekan Fakultas FISIP UIN Ar-Raniry Dr. Ernita Dewi S.Ag, M.Hum dalam sambutannya menuturkan, diskusi tersebut digelar sebagai bentuk respon dalam menyahuti isu yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat terkait polemik pilkada langsung dan pilkada tidak langsung. Diskusi tersebut juga sebagai bentuk eksistensi kampus dalam melakukan telaah akademis terkait informasi yang berkembang di luar.
“Mencermati dan menyikapi derasnya informasi tentang cost politik yang sangat tinggi dalam pelaksanaan pilkada langsung, sudah sepatutnya kampus melakukan telaah akademisi secara komprehensif, dengan menghimpun berbagai pendapat, pandangan dari civitas akademika dan juga masyarakat secara umum,” ujar Ernita Dewi.
Lalu bagaimana pendapat para pemateri diskusi tersebut, apakah menurut mereka pilkada langsung masih relavan atau tidak? Koordinator MaTA, Alfian yang bertindak sebagai pembicara pertama dengan tegas menyatakan bahwa pilkada langsung masih sangat relavan dilaksanakan, meski tidak bisa dipungkiri bahwa pilkada langsung memerlukan biaya yang tinggi.
“Pilkada langsung masih relevan, namun perlu perbaikan-perbaikan oleh para satkeholders terkait, terutama pemerintah (selaku penyelenggara) yang memiliki kekuatan. Kemudian petinggi partai politik juga harus memberi ketegasan kepada setiap calon agar tidak melakukan politik uang. Ini yang tidak dilakukan oleh partai politik selama ini yang seharusnya berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, kemudian MUI/MPU juga perlu turun tangan melakukan sosialisasi bahwa politik uang apa pun mekanismenya adalah haram. Bila ini dilakukan setidaknya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh akan berpikir berulang kali untuk menerima uang dari setiap kandidat,” ujar Alfian seraya mengharapkan agar pilkada langsung tetap bisa terlaksana di Aceh.
Pakar Hukum Dr. Mawardi Ismail dalam paparannya menceritakan panjang lebar terkait empat periode sudah pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia, yang sebelumnya dilaksanakan tidak langsung. Katanya, pilkada langsung itu hadir karena ada reaksi kelemahan-kelamahan dari pilkada tidak langsung. Dalam pandangan Mawardi, baik pilkada langsung dan tidak langsung keduanya memiliki kelemahannya masing-masing.
“Politik uang keduanya tetap ada, namun pilkada tidak langsung harus diakui lebih rendah karena hanya dinikmati segelintir orang saja. Kalau pilkada langsung banyak orang yang menikmati, juga berbagai kebutuhan kampanye dan atribut yang harus dikeluarkan setiap calon,” ujar Mawardi Ismail.
Sebagai akademisi, ia memberi wejangan kepada pihak yang bertarung di pilkada agar tidak melihat jabatan publik sebagai lapangan pekerjaan, melainkan lahan pengabdian. “Jangan lihat jabatan publik sebagai lapangan kerja, bila ini yang terjadi maka gaji akan menjadi orientasi pertama dan pengabdian nomor dua setelah terpilih. Orang yang menjadi pejabat publik seharusnya harus selesai dengan semua masalah pribadinya, sehingga saat menjabat akan benar-benar mengabdikan diri untuk rakyat dan negara,” tegasnya.
Pemateri lainnya, Nur Ambia Arma, S.AP, M.AP menyebut, wacana kebijakan asimetris sudah menjawab bahwa pilkada langsung masih relavan. Hal ini berdasarkan penilaian yang menurut Mendagri Tito Karnavian ada daerah yang masyarakatnya layak melakukan pilkada langsung dan akan ada daerah yang kemungkinan menerapkan pilkada tidak langsung.
“Namun sayangnya, problem di Indonesia selama ini, ketika ada suatu masalah dalam sebuah kebijakan bukan dicari tau akar permasalahannya lalu diperbaiki bersama, namun kebiasaan kita tatkala ada masalah justru membuat kebijakan baru, sehingga akan terus menerus dalam kontroversi dan tidak selesai-selesai.
“Kalau misalkan sebuah kebijakan ada kelemahannya, seharusnya diperbaiki. Contohnya kenapa negara kita tidak menyesuaikan dengan era revolusi industri 4.0 seperti saat ini (yang secara terus menerus dikampanyekan pemerintah), yaitu melakukan pemilihan langsung melalui e-voting. Pemilihan e-voting akan menghematkan biaya hingga 60 persen. Kalau masalah e-voting yang diperdebatkan adalah cyber crime, ya dicari kelemahannya lalu dikelola dan diperbaiki dengan baik, selanjutnya dikembangkan agar tidak bisa ditembus oleh peretas,” pungkas Nur Ambia seraya mencontohkan bahwa India berhasil melakukan pemilu melalui e-voting tanpa ada masalah yang besar, serta mampu menghemat biaya hingga 60 persen.
Sementara itu, Syauqi Futaqi S. Fil.I selaku anggota Legislatif memaparkan realitas yang dialami di lapangan selama perhelatan pilkada langsung, dan pemilu legislatif. Politisi Partai Golkar ini tidak mempungkiri bahwa realitas pilkada saat ini membutuhkan biaya politik yang sangat besar, dimana untuk tembus menjadi bupati/walikota memerlukan anggaran di atas Rp 30 miliar. Sedangkan untuk anggota DPRK butuh biaya di atas Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar. Kalau tingkat DPRD Provinsi dan DPR RI tentunya akan lebih tinggi.
Disamping itu, fakta yang terjadi dibalik pilkada langsung adalah terjadinya gesekan sosial di kalangan masyarakat, dimana adanya gesekan antara menantu dengan mertuanya, antar tetangga, antar masyarakat desa, dan seterusnya. “Intinya, pilkada langsung dan tidak langsung ada plus minusnya,” ungkap alumni Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry itu.
“Kandidat dalam pilkada langsung bisa menghabiskan uang puluhan miliar. Makanya tidak ada kepala daerah yang setelah terpilih tidak akan mencari celah untuk mengembalikan uangnya. Maka tidak heran bila banyak kepala daerah ditangkap karena melakukan tindakan korupsi,” pungkas Syauqi.