SinarPost.com – Prof. Dr. Bahtiar Effendy, salah satu tokoh utama penggagas berdirinya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) meninggal dunia Kamis 21 November 2019 pukul 00.05 WIB di RS Islam Jakarta. Almarhum dilahirkan di Ambarawa Jawa Tengah pada 10 Desember 1958 dan berpulang ke rahmatullah dalam usia 61 tahun.
Bahtiar Effendy merupakan “generasi keempat” cendekiawan muslim era pasca kemerdekaan yang menamatkan pendidikan tinggi di negara Barat. Generasi Pertama, yaitu leting/angkatan M. Rasjidi (Menteri Agama pertama). Generasi Kedua, leting/angkatan Mukti Ali, Anton Timur Djaelani, Deliar Noer, dan Harun Nasution. Generasi Ketiga, leting/angkatan Endang Saifuddin Anshari, Nurcholish Madjid (Cak Nur), M. Amien Rais, dan Ahmad Syafii Maarif.
Seperti ditulis oleh sahabatnya Din Syamsuddin, Bahtiar adalah yang memulai ide pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bahtiar adalah sosok anak pesantren yang memiliki komitmen terhadap kepentingan umat Islam sangat kuat, dia concerned and engaged dalam problematika politik Islam di Indonesia. Almarhum geram jika ada perlakuan yang tidak adil terhadap umat Islam, namun, dia tidak mau menyampaikannya secara terbuka. Bahtiar seorang cendekiawan yang kritis, tapi bukan tipe ilmuwan yang menggebu-gebu mengkritik di ruang publik. Obsesinya adalah perbaikan relasi Islam dan negara di Indonesia yang belum simbiotik-mutualistik dan proporsional.
Bahtiar menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Menamatkan S1 (sarjana) Ilmu Perbandingan Agama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN) tahun 1986. Meraih gelar master bidang studi Asia Tenggara dari Ohio State University, Athens, Amerika Serikat (1988) dan master Ilmu Politik dari perguruan tinggi yang sama (1991). Pada 1994 meraih doktor bidang Ilmu Politik dari Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Semenjak itu reputasinya dikenal sebagai ilmuwan politik.
Sebagai aktivis mahasiswa, Bahtiar ditempa dengan pengalaman berorganisasi melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sekitar tahun 1984 ia mewakili pemuda Indonesia pada Konferensi Dunia tentang Agama Untuk Perdamaian di Nairobi, Republik Kenya. Pemikiran dan tulisannya menghiasi media massa, dipaparkan di forum seminar di dalam dan luar negeri, di samping disampaikan kepada para mahasiswanya di ruang kelas. Sekitar tahun 1990-an ia menjadi pembantu ahli majalah Panji Masyarakat. Dalam susunan pembantu ahli Panji Masyarakat yang saat itu dipimpin Rusjdi Hamka, ada M. Yunan Nasution, Rifyal Ka’bah, M. Syafi’i Anwar, Azyumardi Azra, Fuad Rumi, Bahtiar Effendy, dan Komaruddin Hidayat.
Hasil karya disertasinya dibukukan dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia. Buku tersebut salah satu rujukan penting dan akurat untuk memahami perjuangan politik Islam dan akomodasi aspirasi umat Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai kader Muhammadiyah, Bahtiar dipercaya menjadi Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-2020 membidangi Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri hingga akhir hayatnya. Sebelum itu ia pernah menjadi Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah. Pakar ilmu politik ini juga aktif sebagai Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan pernah menjadi Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Pada waktu Prof. Dr. Anton Timur Djaelani, MA, menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Asia Pasifik, Bahtiar mendampingi sebagai staf khusus.
Dalam perjalanan karirnya, Bahtiar pernah bertugas di Kementerian Agama sebagai Sekretaris Menteri di masa Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher. Tugas Sesmen dijalaninya selama kurang lebih dua minggu hingga mengajukan pindah menjadi dosen sesuai panggilan jiwa dan latar belakang keilmuwannya.
Sebagai akademisi yang memiliki pandangan visioner Bachtiar merintis pembentukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diangkat menjadi Dekan yang pertama tahun 2009. Selain itu, ia ikut mendirikan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) di almamaternya. Pada 2006 Bahtiar Effendy dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama tahun 2014 – 2019 yang datang takziyah di rumah duka dan menghadiri pemakaman jenazah almarhum, menulis di akun twitternya, “Prof. Dr. Bahtiar Effendy adalah salah seorang pemikir yang gigih mempersiapkan pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Semangatnya yang tak pernah padam, wujud dari keikhlasannya yang penuh, sungguh mengagumkan.” kenang Lukman.
Bahtiar mensinyalir umat Islam yang terpecah-belah dan kerap terjadi konflik berisiko mengalami keterpurukan. Untuk itu, dialog dan duduk bersama perlu dikembangkan. Menurutnya, umat Islam perlu berpikir strategis mengenai tantangan ke depan, tidak terjebak dengan kepentingan sesaat. Islam seharusnya bisa menjadi pijakan yang kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai kemajuan bagi bangsa dan negara, termasuk di bidang politik. Ia geram melihat ketika ada aktivis muslim yang masuk penjara karena kasus korupsi.
Meski telah tiada, nama dan karyanya akan dikenang. Bahtiar seorang cendekiawan muslim dan ilmuwan politik yang memiliki daya kritis dan independen di tengah hiruk-pikuk kehidupan bangsa dan negara. Namun ia juga toleran terhadap pendapat orang lain dan menghargai pendirian yang berbeda sebagai sikap luhur orang berilmu.
Semoga perjalanan almarhum menuju keabadian dirahmati Allah SWT, diterima-Nya di tempat yang terbaik. Dunia ilmu pengetahuan dan lingkaran organisasi Islam kehilangan dengan kepergiannya.
***
Artikel ini ditulis oleh M. Fuad Nasar (Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag RI), dan telah terbit di laman Kemenag.go.id.