SinarPost.com – Nama Cut Nyak Dhien tentu bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya Aceh. Cut Nyak Dhien adalah tokoh Pahlawan Nasional perempuan dari Aceh yang meninggal dunia pada tanggal 6 November 1908 di Sumedang, Jawa Barat.
Hari ini (6 November 2019), kepergian Cut Nyak Dhien menghadap Sang Pencipta telah memasuki tahun ke-111. Ia meninggal di sana karena diasingkan oleh penjajah Belanda setelah ditangkap di pedalaman meulaboh, Aceh Barat. Jasadnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Cut Nyak Dhien merupakan salah satu pejuang wanita Aceh yang mampu menghentakkan dunia karena keberanianya berdiri di medan perang melawan penjajah Belanda. Dia mampu memimpin pasukan hingga musuh katakutan, karena semangat dan pengaruhnya yang begitu kuat, Belanda pun harus mangasingkannya ke daerah lain yang jaraknya ribuan kilometer dari Aceh. Kini kisah heroik Cut Nyak Dhien telah menjadi simbol emansipasi di Indonesia.
Melawan Belanda
Cut Nyak Dhien lahir di Aceh Besar pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang agamis. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada tahun 1862 yang juga berasal dari keluarga bangsawan. Dari pernikahannya ini dikaruniai satu orang anak.
Ketika Perang Aceh meluas pada tanggal 26 Maret 1873, ayah dan suami Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan melawan pasukan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap dan modern. Setelah bertahun-tahun melawan, pasukan mereka terdesak ayah dan suami Cut Nyak Dhien memutuskan untuk mundur ke daerah yang lebih terpencil.
Pada tanggal 29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga meninggal di Gle Tarum. Pasca meninggal suaminya itu, Cut Nyak Dhien pun mulai terlibat jauh dalam perlawanan terhadap Belanda. Tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah ia dijanjikan tetap bisa ikut terlibat di medan perang. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.
Setelah menikah, Teuku Umar dan Cut yak Dhien sama-sama terlibat dalam pertempuran melawan penjajah Belanda. Pada tahun 1899, Cut Nyak Dhien kembali menjanda setelah suaminya, Teuku Umur, gugur di medan perang. Setelah kehilangan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien memimpin pasukan sendiri dan berjuang di pedalaman Meulaboh. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang sudah digrogoti berbagai penyakit membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.
Cut Nyak Dhien pun akhirnya ditangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh). Di sana ia dirawat dengan baik oleh Belanda hingga penyakitnya mulai sembuh. Namun karena keberadaan Cut Nyak Dhien tetap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, akhirnya Belanda memutuskan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain sehingga menarik perhatian pemerintah di sana. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Namun belakangan nama Cut Nyak Dhien terungkap, hingga dijuluki sebagai “Ibu Perbu” karena ahli dalam agama Islam. Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan tahun 1959 di Gunung Puyuh, Sumedang. Kemudian pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964. Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada tahun 1987 dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan.
Karena jasa dan perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan, Cut Nyak Dhien selain diangkat sebagai Pahlawan nasional, namanya juga diabadikan di berbagai tempat seperti kapal perang TNI AL (KRI Cut Nyak Dhien), pada mata uang rupiah yang bernilai Rp10.000, nama Bandara di Nagan Raya (Bandara Cut Nyak Dhien), serta nama jalan dan nama tempat lainnya di berbagai daerah di Indonesia.