SinarPost.com, Washington – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump siap menggunakan kekuatan militer jika diperlukan untuk menghadapi Turki di Suriah utara. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ketika ditanya tentang serangan Turki terhadap Kurdi di Suriah utara.
“Kami lebih suka perdamaian daripada perang,” kata Pompeo dalam sebuah wawancara denganCNBC.
“Tetapi jika tindakan kinetik atau aksi militer diperlukan, Anda harus tahu bahwa Presiden Trump sepenuhnya siap untuk melakukan tindakan itu,” sambungnya seperti dikutip dari kantor berita yang berbasis di New Jersey itu, Selasa (22/10/2019).
Pompeo sendiri menolak untuk mengungkapkan tindakan yang dianggap melanggar batas yang akan mendorong tanggapan militer dari AS. Ia hanya mengatakan ia tidak ingin mendahului keputusan Presiden tentang apakah akan melakukan upaya luar biasa menggunakan kekuatan militer AS.
“Anda menyarankan kekuatan ekonomi yang kami gunakan. Kami pasti akan menggunakannya. Kami akan menggunakan kekuatan diplomatik kami juga. Itu adalah pilihan kami,” ucap Pompeo diplomatis.
Dalam kesempatan itu, Pompeo juga menunjukkan dukungannya terhadap perjanjian gencatan senjata yang diumumkan oleh Wakil Presiden AS Mike Pence usai bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan. Ia meyakini jika perjanjian itu bisa menyelamatkan nyawa warga Kurdi.
“Tidak hanya nyawa para pejuang (Pasukan Demokratik Suriah), tetapi juga etnis minoritas di kawasan itu,” kata Pompeo, merujuk pada pasukan militer yang dipimpin Kurdi.
“Sekutu kita melihatnya dengan cara yang sama. Kami mendapat komitmen nyata untuk melindungi etnis minoritas di seluruh wilayah dari Turki dalam menegosiasikan pernyataan itu. Saya pikir pekerjaan yang kami lakukan menyelamatkan nyawa,” tutur Pompeo.
Pompeo juga berusaha untuk membedakan tindakan Trump di Timur Tengah dengan tindakan pendahulunya.
Mantan anggota Kongres Kansas itu sangat kritis ketika Presiden Barack Obama tampaknya melanggar “garis merah” 2012 di Suriah dengan tidak mengizinkan serangan militer yang mengancam terhadap negara itu meskipun ada bukti bahwa pasukannya telah menggunakan senjata kimia.
Sedangkan Trump telah menekan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk tidak menyerang Suriah utara sebelum Turki menginvasi negara itu. Dalam surat luar biasa yang dikirim secara tidak resmi pada 9 Oktober, Trump mengatakan kepada Erdogan untuk tidak menjadi “lelaki tangguh.” Namun Erdogan dilaporkan melempar surat itu ke tempat sampah, dan operasi militer negara itu dimulai hari itu.
Ditanya apakah tindakan Trump meniru Obama, Pompeo mengatakan: “Ini berbeda secara mendasar.”
“Turki tidak melakukan – negara yang diserang Turki, mereka melakukan serangan ke, adalah Suriah, negara berdaulat. Kami bekerja dengan teman-teman Kurdi, SDF naik turun Sungai Efrat,” sambungnya
“Kami bersama-sama menghapus ancaman Kekhalifahan ISIS,” tambah Pompeo.
“Itu untuk kepentingan SDF, itu untuk kepentingan Amerika Serikat, dan memang, untuk kepentingan dunia. Komitmen yang kami buat untuk bekerja bersama mereka, kami sepenuhnya penuhi,” tukasnya.
Departemen Luar Negeri AS menolak berkomentar atas pernyataan Pompeo.
Trump dihujani kritik atas keputusannya menarikan pasukan AS dari Suriah utara dan meninggalkan Kurdi yang menjadi sekutunya dalam memerangi ISIS. Keputusan ini membuka pintu bagi Turki melancarkan operasi militer ke perbatasan. Menurut lembaga pemantau krisis Suriah yang berbasis di Inggris, Observatorium Sudiah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), lebih dari 120 warga sipil tewas akibat operasi militer itu.
[Sindonews.com]